Canalblog
Suivre ce blog Administration + Créer mon blog

nu'man 'zeus' anggara

1 juin 2011

Puisi Oleh Ilham Wahyudi Stasiun, Lelaki dan

 

Puisi

Oleh Ilham Wahyudi

Stasiun, Lelaki dan Kemurungan

 

Kurasa pelan-pelan kita mulai saling melupakan

Seperti suara gerbong kereta yang berderak menjauh

Meninggalkan stasiun: rinduku masih menggelegak

Di sana

 

Di stasiun itu dulu kutemukan bagian nasibmu –

Pelan-pelan kini telah pula menjadi bagian

Dari nasibku – tergeletak berantakan; telanjang

Dan suaramu yang serak mencuri kesadaranku

 

Sebenarnya apa yang kau inginkan dari perjalanan panjangmu

Sehingga kau terus saja mengutuk perjumpaan kita

Bukankah suara serakmu itu yang menggoda kelakilakianku?

 

Kurasa kau telah keliru menafsirkan pelukan dan ciumanku

Membayangkanku sebagai Rocco Siffredi yang jalang di depan kamera

Tersenyum dan sesekali mengerang menahan gelinjang

 

Tetapi, sayangku aku lelakimu

Lelakimu yang dulu merampok kemurungan di stasiun itu

Takkan pernah berniat meningalkanmu sekalipun kau tergeletak

Di stasiun yang lain menunggu Rocco Siffredi menggendongmu

Menuju sorga: rinduku masih menggelegak di sana

 

Medan, Desember 2008

 

 

 

 

 

 

Koran Esok

aku masih diam. ia kesepian di ruang sempit seperti kotak lemari es yang sangsi. ada lelaki berkumis lele melotot di televisi layar datar. dia tertawa mulutnya penuh popcorn asin. anakku menangis minta sebotol bir bintang. aku kian diam. ia menuangkan rindu ke dalam mangkuk merah yang sejak tadi kedinginan di lantai. “hari inikan ada siaran langsung pelantikan presiden kulit hitam?” dia memencet-mencet remote hitam itu. “ah, tahu apa kau tentang rindu!” ia berteriak. tapi anakku bukan setan minum susu siluman.

di luar. suara-suara serak berserak. juga kaca-kaca ruko retak. ia menggigil padahal hari panas terik. seseorang mendekatinya – dengan senyum paling manis; di punggungnya ular-ular mendengus kelaparan – memberinya selimut dari kain spanduk yang sering tergantung di jalan-jalan. gambar-gambar orang-orang di pokok-pokok kayu dan tembok-tembok kusam itu tersenyum. “jangan lupa pilih saya lagi!”

di dalam. anakku tegang menggenggam belati…

Medan. Maret 2009

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Televisi

 

: untuk andi tokong jurnalis televisi

 

aku ingin susu gantung, suaranya merengek. Nak, gantungkan cita citamu setinggi langit, mungkin ibu sedang membesarkan hati anak itu. hatiku perih ditikam tak henti henti. Siapa suruh kau nonton cinta fitri padahal aku selalu mendownload film film luar negeri, malam ini dia berkhotbah lagi. tapi, tadi pagi pengemis itu menemukan mayat si sumi gantung diri di pokok jati dekat kali katanya sich habis nonton televisi. Negeri ini negeri komedi penyair banyak jual diri…hahaha, khotbahnya tambah lagi. pantas belakangan ini ayah juga sering tertawa sendiri. Ah, lebih baik aku mandi di kali, sendiri tapi. tapi, apa sumi juga ikut mandi?

 

mungkin kita sebaiknya mandi wajib, kata penyair tadi. Tidak, kataku! harga air mahal sekali. Kalau pergi ngantor, ya pakai minyak wangi dong mas, istrinya mengingati. istri istri sekarang senang serang modernisasi gara gara sinetron di televisi. Wah, bakal banyak yang jual diri, muncikari senyum senyum sendiri. kemana acara acara religi pergi? Kok sekarang malah komedi yang menghiasi? lihat! Lihat! si sumi masuk telesivi. Televisi empat belas inci. Hore…hore…warga kampung ada juga dalam televisi. Wah, apa bisa satu kampung masuk televisi? inikan jaman teknologi semua bisa diatasi. Yang salah dihormati yang benar dikebiri, hahaha. kamu sok nabi menceramahi setiap hari. Lantas kalau bukan nabi, siapa lagi? Sumi?

 

Medan. Maret 2009

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

KUCING JANTAN

 

Ada kucing jantan mati

Matanya melotot

Lidahnya menjulur

Kupingnya mengelurkan darah

Perutnya pecah

Kaki atau mungkin juga tangannya puntung

Ekornya menjungkit

Laki-laki itu setengah berdiri

Atau setengah melayang layang

Matanya melotot lotot

Mulutnya komat kamit

Kupingnya dipenuhi angin

Perutnya bergejolak

Kaki dan tanganya gemetar

Seekor kucing betina bunting lewat

Lalu meludah ludah

Langit mendung

Tapi hujan bergeser ke selatan

Jauh jauh 

 

 

Medan. Maret 2009

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Karma

 

kadangkadang kamu datang

hanya untuk diam

seperti kursi kayu ruang tamu

lapuk dipenuhi debu

 

wajah kewanitaanmu memucat

bibir kelelakianku bergetar

menerka setiap kemungkinankemungkinan

yang tersembunyi di jam dinding

 

aku bukan petapa buta

orang suci turun dari langit

hanya daging-tulang yang sembab

terkurung di labirin tak ujung

 

kamu juga bukan angin malam

sinar matahari pagi

tapi hanya bayangbayang saja

hantu betina yang sakit parah

 

seperti hari ini—kamu datang lagi;

aku orang gila yang mabuk

ketika detikdetik di kepala berhenti

kakikaki doa patah tiga

 

lalu tibatiba semuanya menjadi;

menjadi hitam yang buram

kejam menikam

 

kadangkadang kamu datang

hanya untuk diam

seperti korankoran pagi ini

kedinginan di lantai

 

atau mungkin kita punya dosa

tapi kita lupa di mana

Tuhan meletakkan surga itu

yang kini menerakakan kita pula

percayakah kamu—perempuan?

 

Medan.  2009

 

 

 

 

Tubuh yang Menggigil

 

 

“ketika dagingku membenamkan dagingmu;

kau dengarkah jerit jantungku?”

 

tak ada lagi yang membuat kita tertawa saat itu

selain tubuhku memenuhi tubuhmu

dan tubuhmu menjelma tubuhku.

 

tapi tuhan, sungguh tuhan yang semula kita

kira buta ternyata lebih serius dari tangisan

bayi yang kehausan; tak sempat menjahit

rindu itu lebih rapat.

 

ada luka menganga bagai sungai nil yang jauh

yang tak kunjung tandas. mencungkil napasku

mengagetkan pandanganku. seperti peramu racun

seperti mati lampu.

 

sekali waktu sempatkanlah membaca pesanku

aku menuliskannya di pokok kayu depan rumahmu

di dinding-dinding rumahmu, di kursi tamu

yang sering kita pakai buat bergelut

atau sekadar saling memandang.

 

ketika dagingku membenamkan dagingmu;

adakah yang kau tusukkan selain rindu?

 

Medan, 2009

 

 

 

 

 

 

 

 

Surat dari Kampung

 

kutuliskan surat ini dengan debar yang tak terjemahkan

yang memenuhi ubun-ubun sampai ke ujung jari kaki

ketika senja diam-diam mengetuk jendela kamarku

yang gigil dan pasrah oleh keributan angin

ketika hantu-hantu rumah tua bersepakat malam ini

menggoda anak-anak yang ingin pergi mengaji

kucoba membayangkan wajahmu yang seperti telur

rambutmu yang terurai air terjun

dan suaramu yang seperti gerimis itu tentunya

kutuliskan surat ini dengan keringat mengucur lebat, sayang

bersama dentang yang berulang-ulang menendang-nendang lambungku

bersama harap, bersama doa yang kusumpah mustajab—segeralah

kau kembalikan uang kuliahku yang kau pinjam untuk menukar

hape terbarumu dengan hape paling terbaru sebab baru saja kuterima

surat dari kampung: “…bulan ini ayah tak bisa mengirim uang

sebab si Ujang adikmu minta dikawinkan. Salam hangat

dari kampung yang kian gersang.”

 

Medan.  2009

 

 

Sudut

 

Aku diam. Sudutmu menyudutkan sudutku yang tersudut.

Hingga semua sudut mengkerucut dan aku bertanya di sudut manakah aku dan kau berada. Kau diam. Tapi sudutku telah mengecil dan beraroma gosong matahari. Sudutnyakah kini yang menyudutkan sudutmu dan sudutku? Dia tertawa. Setelah semua sudut dia sulut hingga kecut suara kau dan aku dalam kantong-kantong udara yang tenggelam. Diakah sudut yang paling sudut? Aku dan kau coba bergeser ke pinggir gigir yang gusir. Menanam biji-biji yang terlampau busuk di otaknya yang condong ke barat. Lalu pecahlah ruangan ini menjadi sudut-sudut yang baru. Aku dan kau kembali berebut sudut-sudut itu. Dia menangis tepatnya pura-pura menangis. Tapi sudut yang kau miliki dan aku miliki tak sanggup menelan sudutnya. Sudut yang tersudut tidak akan pernah menyimpan doa. Dan kita akan terus tersudut ke sudut yang paling kisut.

 

Medan, 2009 

 

 

 

 

Bersepeda Dengan Munir

 

Munir mengayuh sepedanya ke barat. Di timur sedang ada pesta pora. Berapakah jarak dari tempatmu ke tempat Munir bila kau hanya sanggup berjalan? Mungkin kamu akan memutar ipod  itu dan berdoa agar Munir yang kesepian memboncengmu. Ah, kamu lupa, ya, di simpang itukan sedang ada perbaikan jalan.

 

Medan.  2009

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pertanyaan yang Menyelinap

 

1

 

Pernahkah kau mendengar suarasuara yang berbunyi seperti angin yang risau sebab daundaun berguguran? Atau pernahkah dalam tidurmu yang pulas itu kau bertemu sesuatu yang tak pernah kau temui sepanjang usiamu?

Keindahan seperti apakah yang menurutmu paling indah setelah seluruh lemari kau keluarkan isinya? Dan keburukan seperti apakah yang pernah kau cecap setelah seluruh bumbu kau tuangkan buruburu?

 

 

2

 

Ada perpisahan tentu ada pertemuan.

 

            Perpisahankah lebih dulu ataukah pertemuan mulanya?

            Menyakitkankah perpisahan bila pertemuan sudah kita rancang? 

 

Pohon itu kini berbuah.

 

Buah manakah yang akan lebih dulu terjatuh ke tanah?

            Bagian tanah yang manakah yang memanggil-manggil buah itu?

 

 

3

 

 

Sejauh apakah jarak siang dan malam jika mata kau pejam? Dan sedalam apakah lelap jika kau lupa mengoyak almanak?

 

Rindu seperti apakah yang sanggup menelan gelap ke terang; terang ke gelap? Lalu perjumpaan yang bagaimana yang tak putus waktu menceritakannya?

 

Medan.  2009-2010

 

 

 

 

 

 

Ayo Belajar Sejarah Lagi

 

Pagi itu guru sejarahnya bercerita tentang Julius Ceacar, Iskandar Yang Agung, dan Napoleon Bonaparte. Ia duduk di bangku paling belakang. Kupingnya runcing menangkap bola-bola petuah dari gurunya. Sedangnya matanya ia biarkan liar seperti bola Jabulani yang menggelinding deras di rumput Afrika. 

 

“Setiap orang memiliki kesempatan untuk menendang bolanya kemana pun ia suka. Bahkan untuk tidak menendang pun seseorang punya hak.” Kata guru sejarahnya bersemangat. “Maka oleh itu tendanglah bola kalian sekarang juga!” Sambung gurunya makin bersemangat.

 

Dan dia, lelaki yang duduk di bangku paling belakang itu pun melompat. Kawan-kawannya terkejut; mungkin juga terkesima, ketika dengan sekedipan mata dia kini telah berdiri tepat di hadapan wajah guru sejarahnya. Lalu berkata, “Aku akan membawa tim nasional menjuarai piala dunia!” Kawan-kawannya melongoh, dan sedetik kemudian meledaklah tawa seantero ruangan kelas. Pagi itu dia pun dihukum di bawah tiang bendera hingga petang datang.

 

Medan.  2010

 

Publicité
Publicité
1 juin 2011

my friend's poetry, need for critics.

 

Puisi

Oleh Ilham Wahyudi

Stasiun, Lelaki dan Kemurungan

 

Kurasa pelan-pelan kita mulai saling melupakan

Seperti suara gerbong kereta yang berderak menjauh

Meninggalkan stasiun: rinduku masih menggelegak

Di sana

 

Di stasiun itu dulu kutemukan bagian nasibmu –

Pelan-pelan kini telah pula menjadi bagian

Dari nasibku – tergeletak berantakan; telanjang

Dan suaramu yang serak mencuri kesadaranku

 

Sebenarnya apa yang kau inginkan dari perjalanan panjangmu

Sehingga kau terus saja mengutuk perjumpaan kita

Bukankah suara serakmu itu yang menggoda kelakilakianku?

 

Kurasa kau telah keliru menafsirkan pelukan dan ciumanku

Membayangkanku sebagai Rocco Siffredi yang jalang di depan kamera

Tersenyum dan sesekali mengerang menahan gelinjang

 

Tetapi, sayangku aku lelakimu

Lelakimu yang dulu merampok kemurungan di stasiun itu

Takkan pernah berniat meningalkanmu sekalipun kau tergeletak

Di stasiun yang lain menunggu Rocco Siffredi menggendongmu

Menuju sorga: rinduku masih menggelegak di sana

 

Medan, Desember 2008

 

 

 

 

 

 

Koran Esok

aku masih diam. ia kesepian di ruang sempit seperti kotak lemari es yang sangsi. ada lelaki berkumis lele melotot di televisi layar datar. dia tertawa mulutnya penuh popcorn asin. anakku menangis minta sebotol bir bintang. aku kian diam. ia menuangkan rindu ke dalam mangkuk merah yang sejak tadi kedinginan di lantai. “hari inikan ada siaran langsung pelantikan presiden kulit hitam?” dia memencet-mencet remote hitam itu. “ah, tahu apa kau tentang rindu!” ia berteriak. tapi anakku bukan setan minum susu siluman.

di luar. suara-suara serak berserak. juga kaca-kaca ruko retak. ia menggigil padahal hari panas terik. seseorang mendekatinya – dengan senyum paling manis; di punggungnya ular-ular mendengus kelaparan – memberinya selimut dari kain spanduk yang sering tergantung di jalan-jalan. gambar-gambar orang-orang di pokok-pokok kayu dan tembok-tembok kusam itu tersenyum. “jangan lupa pilih saya lagi!”

di dalam. anakku tegang menggenggam belati…

Medan. Maret 2009

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Televisi

 

: untuk andi tokong jurnalis televisi

 

aku ingin susu gantung, suaranya merengek. Nak, gantungkan cita citamu setinggi langit, mungkin ibu sedang membesarkan hati anak itu. hatiku perih ditikam tak henti henti. Siapa suruh kau nonton cinta fitri padahal aku selalu mendownload film film luar negeri, malam ini dia berkhotbah lagi. tapi, tadi pagi pengemis itu menemukan mayat si sumi gantung diri di pokok jati dekat kali katanya sich habis nonton televisi. Negeri ini negeri komedi penyair banyak jual diri…hahaha, khotbahnya tambah lagi. pantas belakangan ini ayah juga sering tertawa sendiri. Ah, lebih baik aku mandi di kali, sendiri tapi. tapi, apa sumi juga ikut mandi?

 

mungkin kita sebaiknya mandi wajib, kata penyair tadi. Tidak, kataku! harga air mahal sekali. Kalau pergi ngantor, ya pakai minyak wangi dong mas, istrinya mengingati. istri istri sekarang senang serang modernisasi gara gara sinetron di televisi. Wah, bakal banyak yang jual diri, muncikari senyum senyum sendiri. kemana acara acara religi pergi? Kok sekarang malah komedi yang menghiasi? lihat! Lihat! si sumi masuk telesivi. Televisi empat belas inci. Hore…hore…warga kampung ada juga dalam televisi. Wah, apa bisa satu kampung masuk televisi? inikan jaman teknologi semua bisa diatasi. Yang salah dihormati yang benar dikebiri, hahaha. kamu sok nabi menceramahi setiap hari. Lantas kalau bukan nabi, siapa lagi? Sumi?

 

Medan. Maret 2009

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

KUCING JANTAN

 

Ada kucing jantan mati

Matanya melotot

Lidahnya menjulur

Kupingnya mengelurkan darah

Perutnya pecah

Kaki atau mungkin juga tangannya puntung

Ekornya menjungkit

Laki-laki itu setengah berdiri

Atau setengah melayang layang

Matanya melotot lotot

Mulutnya komat kamit

Kupingnya dipenuhi angin

Perutnya bergejolak

Kaki dan tanganya gemetar

Seekor kucing betina bunting lewat

Lalu meludah ludah

Langit mendung

Tapi hujan bergeser ke selatan

Jauh jauh 

 

 

Medan. Maret 2009

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Karma

 

kadangkadang kamu datang

hanya untuk diam

seperti kursi kayu ruang tamu

lapuk dipenuhi debu

 

wajah kewanitaanmu memucat

bibir kelelakianku bergetar

menerka setiap kemungkinankemungkinan

yang tersembunyi di jam dinding

 

aku bukan petapa buta

orang suci turun dari langit

hanya daging-tulang yang sembab

terkurung di labirin tak ujung

 

kamu juga bukan angin malam

sinar matahari pagi

tapi hanya bayangbayang saja

hantu betina yang sakit parah

 

seperti hari ini—kamu datang lagi;

aku orang gila yang mabuk

ketika detikdetik di kepala berhenti

kakikaki doa patah tiga

 

lalu tibatiba semuanya menjadi;

menjadi hitam yang buram

kejam menikam

 

kadangkadang kamu datang

hanya untuk diam

seperti korankoran pagi ini

kedinginan di lantai

 

atau mungkin kita punya dosa

tapi kita lupa di mana

Tuhan meletakkan surga itu

yang kini menerakakan kita pula

percayakah kamu—perempuan?

 

Medan.  2009

 

 

 

 

Tubuh yang Menggigil

 

 

“ketika dagingku membenamkan dagingmu;

kau dengarkah jerit jantungku?”

 

tak ada lagi yang membuat kita tertawa saat itu

selain tubuhku memenuhi tubuhmu

dan tubuhmu menjelma tubuhku.

 

tapi tuhan, sungguh tuhan yang semula kita

kira buta ternyata lebih serius dari tangisan

bayi yang kehausan; tak sempat menjahit

rindu itu lebih rapat.

 

ada luka menganga bagai sungai nil yang jauh

yang tak kunjung tandas. mencungkil napasku

mengagetkan pandanganku. seperti peramu racun

seperti mati lampu.

 

sekali waktu sempatkanlah membaca pesanku

aku menuliskannya di pokok kayu depan rumahmu

di dinding-dinding rumahmu, di kursi tamu

yang sering kita pakai buat bergelut

atau sekadar saling memandang.

 

ketika dagingku membenamkan dagingmu;

adakah yang kau tusukkan selain rindu?

 

Medan, 2009

 

 

 

 

 

 

 

 

Surat dari Kampung

 

kutuliskan surat ini dengan debar yang tak terjemahkan

yang memenuhi ubun-ubun sampai ke ujung jari kaki

ketika senja diam-diam mengetuk jendela kamarku

yang gigil dan pasrah oleh keributan angin

ketika hantu-hantu rumah tua bersepakat malam ini

menggoda anak-anak yang ingin pergi mengaji

kucoba membayangkan wajahmu yang seperti telur

rambutmu yang terurai air terjun

dan suaramu yang seperti gerimis itu tentunya

kutuliskan surat ini dengan keringat mengucur lebat, sayang

bersama dentang yang berulang-ulang menendang-nendang lambungku

bersama harap, bersama doa yang kusumpah mustajab—segeralah

kau kembalikan uang kuliahku yang kau pinjam untuk menukar

hape terbarumu dengan hape paling terbaru sebab baru saja kuterima

surat dari kampung: “…bulan ini ayah tak bisa mengirim uang

sebab si Ujang adikmu minta dikawinkan. Salam hangat

dari kampung yang kian gersang.”

 

Medan.  2009

 

 

Sudut

 

Aku diam. Sudutmu menyudutkan sudutku yang tersudut.

Hingga semua sudut mengkerucut dan aku bertanya di sudut manakah aku dan kau berada. Kau diam. Tapi sudutku telah mengecil dan beraroma gosong matahari. Sudutnyakah kini yang menyudutkan sudutmu dan sudutku? Dia tertawa. Setelah semua sudut dia sulut hingga kecut suara kau dan aku dalam kantong-kantong udara yang tenggelam. Diakah sudut yang paling sudut? Aku dan kau coba bergeser ke pinggir gigir yang gusir. Menanam biji-biji yang terlampau busuk di otaknya yang condong ke barat. Lalu pecahlah ruangan ini menjadi sudut-sudut yang baru. Aku dan kau kembali berebut sudut-sudut itu. Dia menangis tepatnya pura-pura menangis. Tapi sudut yang kau miliki dan aku miliki tak sanggup menelan sudutnya. Sudut yang tersudut tidak akan pernah menyimpan doa. Dan kita akan terus tersudut ke sudut yang paling kisut.

 

Medan, 2009 

 

 

 

 

Bersepeda Dengan Munir

 

Munir mengayuh sepedanya ke barat. Di timur sedang ada pesta pora. Berapakah jarak dari tempatmu ke tempat Munir bila kau hanya sanggup berjalan? Mungkin kamu akan memutar ipod  itu dan berdoa agar Munir yang kesepian memboncengmu. Ah, kamu lupa, ya, di simpang itukan sedang ada perbaikan jalan.

 

Medan.  2009

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Pertanyaan yang Menyelinap

 

1

 

Pernahkah kau mendengar suarasuara yang berbunyi seperti angin yang risau sebab daundaun berguguran? Atau pernahkah dalam tidurmu yang pulas itu kau bertemu sesuatu yang tak pernah kau temui sepanjang usiamu?

Keindahan seperti apakah yang menurutmu paling indah setelah seluruh lemari kau keluarkan isinya? Dan keburukan seperti apakah yang pernah kau cecap setelah seluruh bumbu kau tuangkan buruburu?

 

 

2

 

Ada perpisahan tentu ada pertemuan.

 

            Perpisahankah lebih dulu ataukah pertemuan mulanya?

            Menyakitkankah perpisahan bila pertemuan sudah kita rancang? 

 

Pohon itu kini berbuah.

 

Buah manakah yang akan lebih dulu terjatuh ke tanah?

            Bagian tanah yang manakah yang memanggil-manggil buah itu?

 

 

3

 

 

Sejauh apakah jarak siang dan malam jika mata kau pejam? Dan sedalam apakah lelap jika kau lupa mengoyak almanak?

 

Rindu seperti apakah yang sanggup menelan gelap ke terang; terang ke gelap? Lalu perjumpaan yang bagaimana yang tak putus waktu menceritakannya?

 

Medan.  2009-2010

 

 

 

 

 

 

Ayo Belajar Sejarah Lagi

 

Pagi itu guru sejarahnya bercerita tentang Julius Ceacar, Iskandar Yang Agung, dan Napoleon Bonaparte. Ia duduk di bangku paling belakang. Kupingnya runcing menangkap bola-bola petuah dari gurunya. Sedangnya matanya ia biarkan liar seperti bola Jabulani yang menggelinding deras di rumput Afrika. 

 

“Setiap orang memiliki kesempatan untuk menendang bolanya kemana pun ia suka. Bahkan untuk tidak menendang pun seseorang punya hak.” Kata guru sejarahnya bersemangat. “Maka oleh itu tendanglah bola kalian sekarang juga!” Sambung gurunya makin bersemangat.

 

Dan dia, lelaki yang duduk di bangku paling belakang itu pun melompat. Kawan-kawannya terkejut; mungkin juga terkesima, ketika dengan sekedipan mata dia kini telah berdiri tepat di hadapan wajah guru sejarahnya. Lalu berkata, “Aku akan membawa tim nasional menjuarai piala dunia!” Kawan-kawannya melongoh, dan sedetik kemudian meledaklah tawa seantero ruangan kelas. Pagi itu dia pun dihukum di bawah tiang bendera hingga petang datang.

 

Medan.  2010

 

Publicité
Publicité
nu'man 'zeus' anggara
Publicité
Publicité