Puisi Oleh Ilham Wahyudi Stasiun, Lelaki dan
Puisi
Oleh Ilham Wahyudi
Stasiun, Lelaki dan Kemurungan
Kurasa pelan-pelan kita mulai saling melupakan
Seperti suara gerbong kereta yang berderak menjauh
Meninggalkan stasiun: rinduku masih menggelegak
Di sana
Di stasiun itu dulu kutemukan bagian nasibmu –
Pelan-pelan kini telah pula menjadi bagian
Dari nasibku – tergeletak berantakan; telanjang
Dan suaramu yang serak mencuri kesadaranku
Sebenarnya apa yang kau inginkan dari perjalanan panjangmu
Sehingga kau terus saja mengutuk perjumpaan kita
Bukankah suara serakmu itu yang menggoda kelakilakianku?
Kurasa kau telah keliru menafsirkan pelukan dan ciumanku
Membayangkanku sebagai Rocco Siffredi yang jalang di depan kamera
Tersenyum dan sesekali mengerang menahan gelinjang
Tetapi, sayangku aku lelakimu
Lelakimu yang dulu merampok kemurungan di stasiun itu
Takkan pernah berniat meningalkanmu sekalipun kau tergeletak
Di stasiun yang lain menunggu Rocco Siffredi menggendongmu
Menuju sorga: rinduku masih menggelegak di sana
Medan, Desember 2008
Koran Esok
aku masih diam. ia kesepian di ruang sempit seperti kotak lemari es yang sangsi. ada lelaki berkumis lele melotot di televisi layar datar. dia tertawa mulutnya penuh popcorn asin. anakku menangis minta sebotol bir bintang. aku kian diam. ia menuangkan rindu ke dalam mangkuk merah yang sejak tadi kedinginan di lantai. “hari inikan ada siaran langsung pelantikan presiden kulit hitam?” dia memencet-mencet remote hitam itu. “ah, tahu apa kau tentang rindu!” ia berteriak. tapi anakku bukan setan minum susu siluman.
di luar. suara-suara serak berserak. juga kaca-kaca ruko retak. ia menggigil padahal hari panas terik. seseorang mendekatinya – dengan senyum paling manis; di punggungnya ular-ular mendengus kelaparan – memberinya selimut dari kain spanduk yang sering tergantung di jalan-jalan. gambar-gambar orang-orang di pokok-pokok kayu dan tembok-tembok kusam itu tersenyum. “jangan lupa pilih saya lagi!”
di dalam. anakku tegang menggenggam belati…
Medan. Maret 2009
Televisi
: untuk andi tokong jurnalis televisi
aku ingin susu gantung, suaranya merengek. Nak, gantungkan cita citamu setinggi langit, mungkin ibu sedang membesarkan hati anak itu. hatiku perih ditikam tak henti henti. Siapa suruh kau nonton cinta fitri padahal aku selalu mendownload film film luar negeri, malam ini dia berkhotbah lagi. tapi, tadi pagi pengemis itu menemukan mayat si sumi gantung diri di pokok jati dekat kali katanya sich habis nonton televisi. Negeri ini negeri komedi penyair banyak jual diri…hahaha, khotbahnya tambah lagi. pantas belakangan ini ayah juga sering tertawa sendiri. Ah, lebih baik aku mandi di kali, sendiri tapi. tapi, apa sumi juga ikut mandi?
mungkin kita sebaiknya mandi wajib, kata penyair tadi. Tidak, kataku! harga air mahal sekali. Kalau pergi ngantor, ya pakai minyak wangi dong mas, istrinya mengingati. istri istri sekarang senang serang modernisasi gara gara sinetron di televisi. Wah, bakal banyak yang jual diri, muncikari senyum senyum sendiri. kemana acara acara religi pergi? Kok sekarang malah komedi yang menghiasi? lihat! Lihat! si sumi masuk telesivi. Televisi empat belas inci. Hore…hore…warga kampung ada juga dalam televisi. Wah, apa bisa satu kampung masuk televisi? inikan jaman teknologi semua bisa diatasi. Yang salah dihormati yang benar dikebiri, hahaha. kamu sok nabi menceramahi setiap hari. Lantas kalau bukan nabi, siapa lagi? Sumi?
Medan. Maret 2009
KUCING JANTAN
Ada kucing jantan mati
Matanya melotot
Lidahnya menjulur
Kupingnya mengelurkan darah
Perutnya pecah
Kaki atau mungkin juga tangannya puntung
Ekornya menjungkit
Laki-laki itu setengah berdiri
Atau setengah melayang layang
Matanya melotot lotot
Mulutnya komat kamit
Kupingnya dipenuhi angin
Perutnya bergejolak
Kaki dan tanganya gemetar
Seekor kucing betina bunting lewat
Lalu meludah ludah
Langit mendung
Tapi hujan bergeser ke selatan
Jauh jauh
Medan. Maret 2009
Karma
kadangkadang kamu datang
hanya untuk diam
seperti kursi kayu ruang tamu
lapuk dipenuhi debu
wajah kewanitaanmu memucat
bibir kelelakianku bergetar
menerka setiap kemungkinankemungkinan
yang tersembunyi di jam dinding
aku bukan petapa buta
orang suci turun dari langit
hanya daging-tulang yang sembab
terkurung di labirin tak ujung
kamu juga bukan angin malam
sinar matahari pagi
tapi hanya bayangbayang saja
hantu betina yang sakit parah
seperti hari ini—kamu datang lagi;
aku orang gila yang mabuk
ketika detikdetik di kepala berhenti
kakikaki doa patah tiga
lalu tibatiba semuanya menjadi;
menjadi hitam yang buram
kejam menikam
kadangkadang kamu datang
hanya untuk diam
seperti korankoran pagi ini
kedinginan di lantai
atau mungkin kita punya dosa
tapi kita lupa di mana
Tuhan meletakkan surga itu
yang kini menerakakan kita pula
percayakah kamu—perempuan?
Medan. 2009
Tubuh yang Menggigil
“ketika dagingku membenamkan dagingmu;
kau dengarkah jerit jantungku?”
tak ada lagi yang membuat kita tertawa saat itu
selain tubuhku memenuhi tubuhmu
dan tubuhmu menjelma tubuhku.
tapi tuhan, sungguh tuhan yang semula kita
kira buta ternyata lebih serius dari tangisan
bayi yang kehausan; tak sempat menjahit
rindu itu lebih rapat.
ada luka menganga bagai sungai nil yang jauh
yang tak kunjung tandas. mencungkil napasku
mengagetkan pandanganku. seperti peramu racun
seperti mati lampu.
sekali waktu sempatkanlah membaca pesanku
aku menuliskannya di pokok kayu depan rumahmu
di dinding-dinding rumahmu, di kursi tamu
yang sering kita pakai buat bergelut
atau sekadar saling memandang.
ketika dagingku membenamkan dagingmu;
adakah yang kau tusukkan selain rindu?
Medan, 2009
Surat dari Kampung
kutuliskan surat ini dengan debar yang tak terjemahkan
yang memenuhi ubun-ubun sampai ke ujung jari kaki
ketika senja diam-diam mengetuk jendela kamarku
yang gigil dan pasrah oleh keributan angin
ketika hantu-hantu rumah tua bersepakat malam ini
menggoda anak-anak yang ingin pergi mengaji
kucoba membayangkan wajahmu yang seperti telur
rambutmu yang terurai air terjun
dan suaramu yang seperti gerimis itu tentunya
kutuliskan surat ini dengan keringat mengucur lebat, sayang
bersama dentang yang berulang-ulang menendang-nendang lambungku
bersama harap, bersama doa yang kusumpah mustajab—segeralah
kau kembalikan uang kuliahku yang kau pinjam untuk menukar
hape terbarumu dengan hape paling terbaru sebab baru saja kuterima
surat dari kampung: “…bulan ini ayah tak bisa mengirim uang
sebab si Ujang adikmu minta dikawinkan. Salam hangat
dari kampung yang kian gersang.”
Medan. 2009
Sudut
Aku diam. Sudutmu menyudutkan sudutku yang tersudut.
Hingga semua sudut mengkerucut dan aku bertanya di sudut manakah aku dan kau berada. Kau diam. Tapi sudutku telah mengecil dan beraroma gosong matahari. Sudutnyakah kini yang menyudutkan sudutmu dan sudutku? Dia tertawa. Setelah semua sudut dia sulut hingga kecut suara kau dan aku dalam kantong-kantong udara yang tenggelam. Diakah sudut yang paling sudut? Aku dan kau coba bergeser ke pinggir gigir yang gusir. Menanam biji-biji yang terlampau busuk di otaknya yang condong ke barat. Lalu pecahlah ruangan ini menjadi sudut-sudut yang baru. Aku dan kau kembali berebut sudut-sudut itu. Dia menangis tepatnya pura-pura menangis. Tapi sudut yang kau miliki dan aku miliki tak sanggup menelan sudutnya. Sudut yang tersudut tidak akan pernah menyimpan doa. Dan kita akan terus tersudut ke sudut yang paling kisut.
Medan, 2009
Bersepeda Dengan Munir
Munir mengayuh sepedanya ke barat. Di timur sedang ada pesta pora. Berapakah jarak dari tempatmu ke tempat Munir bila kau hanya sanggup berjalan? Mungkin kamu akan memutar ipod itu dan berdoa agar Munir yang kesepian memboncengmu. Ah, kamu lupa, ya, di simpang itukan sedang ada perbaikan jalan.
Medan. 2009
Pertanyaan yang Menyelinap
1
Pernahkah kau mendengar suarasuara yang berbunyi seperti angin yang risau sebab daundaun berguguran? Atau pernahkah dalam tidurmu yang pulas itu kau bertemu sesuatu yang tak pernah kau temui sepanjang usiamu?
Keindahan seperti apakah yang menurutmu paling indah setelah seluruh lemari kau keluarkan isinya? Dan keburukan seperti apakah yang pernah kau cecap setelah seluruh bumbu kau tuangkan buruburu?
2
Ada perpisahan tentu ada pertemuan.
Perpisahankah lebih dulu ataukah pertemuan mulanya?
Menyakitkankah perpisahan bila pertemuan sudah kita rancang?
Pohon itu kini berbuah.
Buah manakah yang akan lebih dulu terjatuh ke tanah?
Bagian tanah yang manakah yang memanggil-manggil buah itu?
3
Sejauh apakah jarak siang dan malam jika mata kau pejam? Dan sedalam apakah lelap jika kau lupa mengoyak almanak?
Rindu seperti apakah yang sanggup menelan gelap ke terang; terang ke gelap? Lalu perjumpaan yang bagaimana yang tak putus waktu menceritakannya?
Medan. 2009-2010
Ayo Belajar Sejarah Lagi
Pagi itu guru sejarahnya bercerita tentang Julius Ceacar, Iskandar Yang Agung, dan Napoleon Bonaparte. Ia duduk di bangku paling belakang. Kupingnya runcing menangkap bola-bola petuah dari gurunya. Sedangnya matanya ia biarkan liar seperti bola Jabulani yang menggelinding deras di rumput Afrika.
“Setiap orang memiliki kesempatan untuk menendang bolanya kemana pun ia suka. Bahkan untuk tidak menendang pun seseorang punya hak.” Kata guru sejarahnya bersemangat. “Maka oleh itu tendanglah bola kalian sekarang juga!” Sambung gurunya makin bersemangat.
Dan dia, lelaki yang duduk di bangku paling belakang itu pun melompat. Kawan-kawannya terkejut; mungkin juga terkesima, ketika dengan sekedipan mata dia kini telah berdiri tepat di hadapan wajah guru sejarahnya. Lalu berkata, “Aku akan membawa tim nasional menjuarai piala dunia!” Kawan-kawannya melongoh, dan sedetik kemudian meledaklah tawa seantero ruangan kelas. Pagi itu dia pun dihukum di bawah tiang bendera hingga petang datang.
Medan. 2010